2006-12-21

Sneak peek of When Love Attract Us-a novel by Septianessty Sutjipto

Atas permintaan banyak pihak...di sini saya mau menambah sedikit ceritanya..maaf beribu maaf karena saya belum membuat sinopsisnya karena ternyata membuat sinopsis sama sekali tidak gampang..
I hope you enjoy the story and happy reading! dan saya gak bosen2 bilang mohon kritik dan sarannya..semoga akhirnya kisah yang satu ini benar2 bisa dibaca dan dinikmati..
Satu

Jalan Magnolia D-35
“Dek, cepet bangun! Molor mulu sih!” aku semakin meringkukkan badanku ke dalam selimut sewaktu mendengar teriakan Mbak Dina dari luar kamar.
Berisik banget sih! Udara pagi yang cukup dingin ini membuatku malas beranjak dari tempat tidur, apalagi aku baru tidur jam satu malam gara-gara ngebelain nonton episode Desperate Housewives yang terakhir.
Aku menggeliat, sambil berusaha bangkit dari tempat tidur. Usaha yang cukup sulit dilakukan mengingat otak dan badanku belum sinkron satu sama lain.
“Dek, cepetan! Nanti mbak tinggal loh!” Pintu kamarku tiba-tiba menjeplak terbuka. Mbak Dina dengan setelan hem lengan panjang khaki serta celana warna creme berdiri di dekat pintu kamarku. Dandanan siap ngantor.
“Emang kita mau kemana sih, mbak?” kataku sambil mengucek-ucek mata, dan berusaha melihat jam yang ada di nakas sebelah tempat tidur.
“Kamu ini gimana sih? Katanya mau nengokin temen kamu, si Disa itu.” Jawab Mbak Dina tak sabar, melihatku belum beranjak dari tempat tidur. “Ya ampun, Ra. Ini kamar, apa kapal pecah sih. Berantakan banget! Eh malah bengong ‘ni anak. Mandi gih cepetan!”
Mbak Dina sekarang sudah berjongkok di dekat kasurku untuk mengambil beberapa kaos dan buku-buku yang berserakan di sana, lalu mengaturnya di atas meja. Sementara aku berdiri di depan lemari, bingung karena gak tahu mesti pake baju apa.
“Mbak, enaknya pake baju apa ya?” Aku memilih-milih baju di lemari, me-mix and match beberapa top dengan bawahannya.
“Apa ajalah, yang penting jangan pake kolor doang. Cepetan dong, Dek! Kamu kaya’ gak tau aja Jakarta macetnya kaya’ apa,” Suara Mbak Dina terdengar frustasi “habis mandi langsung ke bawah ya, mbak tunggu di mobil. Nanti kamu sarapan di jalan aja.”
Mbak Dina beranjak keluar kamarku, setelah aku masuk ke dalam kamar mandi kemudian mempercepat ritual mandi 15 menit-ku menjadi 10 menit.
Ketika aku turun ke bawah, Mbak Dina sedang berbicara dengan Mbok Ijah, pembantu rumah tangga kami yang sudah turun-temurun merawat Mbak Dina kemudian aku. Wanita itu terus menganguk-angguk ketika Mbak Dina berbicara padanya.
“Nanti tolong ambilin blazer item saya yang ada di laundry ya, mbok. Terus kalo ada yang nyari saya bilang udah berangkat,” dan ketika matanya melihatku “Cepetan dong, dek. Mbak bisa telat nih. Makasih ya, mbok.”
Oh iya aku belum menjelaskan, Mbak Dina kakak permpuanku ini memang lagi cepet panik. Kata orang sih sindrom menjelang pernikahan, tapi aku juga gak tau pasti sih mengingat umurku yang masih 18 tahun dan belum ngerti apa-apa tentang hal yang dianggap sangat sakral itu. Bahkan pacar saja aku belum punya.
Sebulan yang lalu memang masih ada, namanya Lucas Martin, cowok blasteran Brazil-Aussie yang gantengnya gak ketulungan, teman satu high-school di Aussie kemarin. Lucas ini tipe-tipe for-die-hunk yang ngetop banget. Beruntung banget aku seorang Andara Gisela Suryawirawan bisa pacaran sama orang kaya’ dia. And he’s a really good kisser, yang bikin aku kangen sama bibir tipisnya itu. Tapi kami terpaksa putus, beda iman sih. Ibu yang sangat mewanti-wanti aku dalam memilih jodoh yang seiman, bisa mati berdiri kalo aku nekat pacaran sama dia. Lagipula aku gak pernah yakin sama yang namanya pacaran long-distance, walaupun teknologi sekarang udah canggih tapi buatku pacaran long-distance is totally bullshit.
Untung Lucas bisa menerima keputusanku dengan baik, dan saat mengantarku ke airport dia menyempatkan mencium bibirku dengan lembut dan lama. Aku sampai tidak rela pulang ke Indonesia karena itu. Duh jadi kangen Lucas nih.
“Rara, kamu itu udah gede, harusnya bisa ngatur diri dong. Jauh-jauh SMA sekolah di Aussie, kalo pada akhirnya setelah balik ke sini kamu ngemplok ke Mbok Ijah lagi ya percuma dong,” Kata Mbak Dina memulai kuliah paginya, suaranya berusaha mengimbangi suara mesin yang di-staternya. “untung Bapak sama Ibu lagi gak ada, kalo engga habis kamu dimarahin.”
KIA Picanto biru itu mulai meluncur menjauhi kawasan Bintaro Palm State dan menuju ruas-ruas jalanan utama Jakarta yang mulai padat. Jakarta tidak berubah, masih tetap sama ketika aku meninggalkannya 3 tahun lalu untuk bersekolah di Australia. Walaupun ada beberapa gedung dan mal-mal baru yang berkali-kali aku tanyakan kepada Mbak Dina apa namanya.
Tadinya selepas SMP, keluargaku berencana pindah ke Australia tapi tiba-tiba batal karena ayah ditawari pekerjaan tetap di Jakarta dan (katanya) tidak akan dipindah-pindah lagi. Bekerja di SouthWest International Bank, memang membuat ayah jadi sering dipindah-pindah baik di dalam negeri maupun luar negeri.
Tapi karena aku sudah kadung excited menanti kepindahan ke negeri kanguru itu, aku memohon-mohon kepada Ibu dan Ayah supaya aku tetap bisa sekolah di sana. Dengan konsekuensi aku harus tinggal di dormitory khusus yang disediakan pihak sekolah, dan mengurus segalanya sendirian! Awalnya aku sempat frustasi mengurus aplikasi yang diperlukan serta harus bolak-balik ke kantor imigrasi yang diping-pong kesana kemari, tapi karena waktu itu aku sedang patah hati karena Abdi, pacar pertamaku yang ternyata selingkuh dengan temanku sendiri membuatku malas berlama-lama di Jakarta. Dan dengan tekad sekuat besi beton, akhirnya aku berhasil menyelesaikan masalah administrasi tepat waktu.
Dan di Sydney High School-lah, aku bertemu dengan Lucas yang sudah aku ceritakan tadi. Si Mr. Great Kisser. Ngomong-ngomong soal ciuman, aku jadi teringat ciuman pertamaku jaman SD dulu dengan seorang tetanggaku sewaktu aku tinggal di Semarang. Ciuman dengan aroma Jambu yang segar. Siapa ya namanya cowok itu?

*

The Djakarta Building, 08.45 am
Mbak Dina mengarahkan mobilnya ke parkiran sebuah gedung bertingkat di daerah Sudirman. Kantor Mbak Dina ada di lantai 11 gedung ini. Setelah lulus dari jurusan Teknik Sipil Institut Teknologi Jakarta, Mbak Dina yang lulus sempurna dengan gelar summa cum-laude langsung diterima oleh sebuah perusahaan perminyakan bergengsi di Jakarta.
“Dek, nanti kamu minta panggilin taksi sama Pak Satpam aja. Mbak, naik dulu ya. Kalo udah selesai urusannya langsung pulang lho.” sambil mencium pipiku sekilas Mbak Dina langsung menuju lift dan berdesak-desakan dengan karyawan yang lain.
Heran sabtu-sabtu begini masih banyak aja orang yang ngantor.
Aku memutuskan untuk membeli Roti Boy dulu di counternya yang terletak di dekat lobi, untuk mengisi perutku yang dari tadi sudah keroncongan minta diisi. Kemudian membeli sebotol susu cokelat di swalayan yang ada di sampingnya. Baru setelahnya aku meminta tolong Pak Satpam untuk memanggil taksi.
Semua orang yang ada di lobi kantor itu tampak sibuk, ada yang sibuk mengetik sms dengan ponselnya, ngecek e-mail dari BlackBerry, ada juga yang sedang mengetik di laptopnya, sedangkan aku hanya duduk-duduk santai.
Kuputuskan untuk menunggu di luar saja, bisa ikut-ikutan stres aku kalo lama-lama berada di lobi itu.
BUKK!
Kaya’nya aku nabrak sesuatu deh, sambil mencoba berdiri aku memandang orang yang baru saja aku tabrak. Kemeja putih orang itu terkena noda susu cokelat yang aku tumpahkan padanya.
“Damn. Punya mata gak sih?” bentak orang itu kasar, tangannya berusaha membersihkan noda itu.
“Aduh, maaf deh, mas. Saya gak sengaja.” Kataku pelan, takut kalo dibentak lagi.
Orang itu diam, tapi mata dibalik kacamata Oakley-nya itu tetap menatapku tajam. Mending dibentak aja deh daripada dipelototin kaya’ gini, batinku.
“Mbak, taksinya udah dapet.” Si satpam yang tadi aku mintai tolong sekarang sudah ada di sebelahku.
“Maaf ya, mas. Saya beneran gak sengaja. Kalo bisa saya ganti, saya ganti deh. Tapi sekarang saya udah ditunggu taksi. Gimana?” sepertinya penawaranku itu tidak ditanggapi dengan baik, karena orang itu tiba-tiba ngeloyor begitu saja.
Ajis! Udah bikin gue jantungan setengah mati, minta maaf baik-baik malah ditinggal pergi, makiku kesal.
“Mbak, taksinya..” satpam itu menyentuh bahuku.
“Iya, pak. Makasih ya!”
*

Dua

The Djakarta Building, 09.00 am
“Baju lo kenapa, Sya?” Andro tiba-tiba muncul di hadapanku sambil cengar-cengir melihat kondisi bajuku.
“Tabrakan sama orang tadi di bawah. Ada jaket gak?” Aku masih berusaha menghilangkan noda itu dengan air dan tisue, tapi sepertinya usaha itu kurang berhasil. Noda itu masih tetap membandel di situ.
Shit. Mana hari ini harus ketemu klien lagi, dasar cewek sial!
Andro melempar jaket kulitnya padaku, dan dengan cepat memakainya “Orangnya Silent belum pada dateng, Ndro?”
“Nope. Payah, padahal kita janjian jam setengah 9.” Andro mengerling jam tangan Tissot-nya.
“Jam baru ya?” tanyaku.
“Yup. Murah lho, bro. Lo gak mau beli? Tag Heuer juga ada yang baru lho. Kapan-kapan lo dateng deh ke toko gue.”
Aku menggeleng. Jam tangan Tag Heuer yang melingkar di tangan kiriku ini saja hampir menguras gajiku, mana kreditan mobil belum lunas. Dasar jiwa dagang! Keluarganya Andro ini memang punya beberapa toko di ITC, macam-macam dagangannya mulai dari pernik-pernik buat cewek-cewek ABG sampai jam-jam yang ditawarkan padaku tadi itu.
“Semuanya udah siap kan?” hari ini aku akan bertemu dengan perwakilan sebuah production house yang kalo nantinya mereka setuju, aku dan Andro serta beberapa teman yang lain akan membuat set acara yang akan mereka bikin.
Sebetulnya aku sudah bekerja sebagai asisten penata ruangan untuk sebuah acara remaja di [W] channel, stasiun TV lokal Jakarta. Tapi aku masih merasa kurang puas dengan pekerjaanku itu, maklum asisten kan ‘hanya’ menuruti kemauan pemimpinnya. Sementara aku gak pengen berlama-lama jadi ekor.
“Nyantai dikit lah, Sya. Gue yakin kali ini pasti dapet.” Senyum mengembang dari bibir Andro, mencoba membangkitkan semangatku yang mulai loyo.

*

The Djakarta Building, 12.00 pm
Setelah melalui perdebatan dan kesepakatan yang disetujui kedua belah pihak. Akhirnya pihak The Silent menyetujui bekerja sama dengan kami. Andro langsung teriak-teriak saking senangnya (tentunya setelah semua orang perwakilan itu pergi, bisa langsung dibatalkan kalo mereka sampai melihat Andro yang sibuk nari kaya’ orang Indian gini).
“Boss serius amat sih, handphone lo geter tuh.” Andro menunjuk handphone-ku yang ber-vibrasi.
Arsya : Assalamualaikum
Bunda : Walaikumsalam, Arsya dimana?
Arsya : Masih di kantor, Bun. Kenapa?
Bunda : Nanti bisa jemput bunda di rumahnya Tante Nita?
Arsya : (Tante Nita yang mana sih?) Bisa, bun. Tapi agak siangan ya, habis ini Arsya masih mau ke tempat Todi ngambil baju. Gak papa ya, Bun?
Bunda : Ya udah, di jalan Magnolia blok D no. 35 ya. Daerah Bintaro. Bunda tunggu lho. Oh iya, jangan lupa makan lho, Sya! Assalamualaikum.
Arsya : Iya, Bun. Walaikumsalam.
Aku menutup flip handphone, kemudian menatap Andro yang ternyata sudah berhenti menari. “Bro, gue mau ke tempat Todi. Mau ikut gak?”
“Males ah, kalo ke tempat homo-an lo itu.” Ujar Andro sambil nyengir lebar.
“Monyet! Awas lo.” Aku melempar jaket yang tadi kupinjam darinya. “thanks anyway.”

*
Tempat latihan Taekwondo.
Aku melangkah masuk ke dalam ruangan berukuran 5x5 meter itu. Mencari-cari di setiap sudutnya, tapi makhluk bernama Todi itu tak kunjung kelihatan batang hidungnya. Todi itu sahabatku sejak SMA di SMA Perdana Harapan Bangsa, dan sekarang dia kuliah di Institut Teknologi Jakarta jurusan teknik industri, sementara aku terdampar di BSD—Batavia School of Design, sekolah khusus desain terbaik di Jakarta (begitu kata kebanyakan orang lho).
Nama aslinya Seto Budi Andreansyah, tapi karena gak mau menyaingi ketenaran Kak Seto dengan si komo-nya itu, maka Seto-eh maksud saya-Todi mengganti nama panggilannya. Dan lagi nama Seto yang berkesan njawani tidak terlalu pantas dengan tingkahnya yang western-minded itu, apalagi setelah rambutnya di-highlight warna kuning terang seperti sekarang. Akan sangat tidak keren kalo dia memperkenalkan diri dengan nama Seto kan?
Cukuplah pembahasan soal nama Todi barusan, sekarang kenapa anak itu tidak kunjung muncul padahal dari tadi dia memintaku untuk cepat-cepat datang ke tempat latihan taekwondo-ku ini. Aku dan Todi memang sudah sejak SMA berlatih taekwondo di tempat ini.
Taekwondo adalah caraku untuk menghilangkan ke-stres-an yang ditimbulkan akibat tugas-tugas dari dosen yang tanpa henti mengalir, selain kebut-kebutan di jalan bersama Ford Focus silver kesayanganku itu tentunya.
Monyong! Mana sih Todi?!
“Hei, Sya!” sapa seorang cowok yang wajahnya paling malas aku temui saat ini. Icank.
“Eh hai, Cank.” Balasku garing.
“Baju lo kenapa?”
Duh kenapa sih semua perhatian tertuju pada bajuku terus. “Gak kenapa-kenapa kok, tadi ketumpahan gitu deh—Tod, Todi! Whoi!”
Aku melambai kepada cowok berambut kuning itu, dan segera menyudahi pembicaraan dengan Icank “Cank, gue ke Todi dulu ya.”
Oke let me explain ke kalian semua kenapa aku malas berdekatan (terutama berlama-lama) dengan Narendra Wibisana aka. Icank ini. Beberapa waktu yang lalu, saat kejuaraan taekwondo yang diadakan di tempat latihanku. Icank dengan bengganya memamerkan jurus-jurus andalannya yang sekiranya bisa mendekatkan medali emas kepadanya, tapi nyatanya not even close, dia malah kalah dari junior yang kemampuannya jelas masih jauh darinya.
Dasar ember! Aku benci sekali, gara-gara dia gelar juara umum langsung melayang begitu saja.
5 menit kemudian aku sudah berada di samping Todi, setelah mengganti bajuku dengan printed t-shirt bergambar Dave Grohl, vokalis band kesukaan Todi—hasil ngerampok loker Todi.
Todi yang aku ceritai insiden tabrakan tadi pagi malah sibuk bertanya tentang cewek yang menabrakku tadi. “Orangnya cakep gak?”
“Mana gue peduli, dia udah bikin gue diketawain orang terus hari ini.” kataku sambil memasukkan baju kotor, berjejalan dengan buku-buku kuliah dalam ransel.
“Wah apes banget sih tu cewek langsung lo maki-maki di tempat kaya’ gitu. Hei tapi mungkin berkat dia numpahin susu ke baju lo, itu membawa keberuntungan dan kerjaan lo diterima.” katanya sambil menghisap rokok Marlboro merah-nya, aku memberi isyarat kalo aku minta sebatang.
“Gak ada hubungannya, dodol!” Aku menyemburkan asap rokokku.
Kami berjalan ke depan, berencana makan siang nasi pecel yang mangkal di depan tempat latihan taekwondo.
Dan setelah memesan makanan, Todi buka suara lagi “Berarti harus dirayain nih, Sya. Nanti malem di Centro. Gimana? I will bring the girls.” Sambil menghisap rokoknya yang ke dua, mata Todi bersinar jahil.
Ini yang paling aku tidak suka dari Todi. Hobinya memainkan permainan match-making untukku, yang aku rasa sangatlah tidak penting. Sudah banyak cewek yang berusaha dia jodohkan kepadaku, mulai dari Kanyasita, teman SD-nya sampai yang bitchy macam Ashley. Tapi gak ada satupun yang nyantol di hatiku. Aku memang paling susah jatuh cinta, apalagi setelah cintaku itu jatuh pada gadis kecil first kiss-ku di Semarang dulu.
“Hei, bung. Gimana? Centro, tonight?”
“Lo atur aja deh,” kataku. Aku bisa apa lagi, kalo idenya ditolak bisa ngamuk-ngamuk ni orang. “Lani gimana?”
Todi agak terkejut ketika tiba-tiba aku menanyakan pacarnya itu. “Udah gue putusin, males. Susah ngeladenin kemauannya dia yang segunung itu.”
Aku bertanya dalam hati, ni orang gampang banget sih putus sambung sama cewek? Padahal cewek kan juga manusia, punya hati. Lebih peka malah. Lho aku kok jadi sentimentil gini sih? Banyak ngobrol sama Bunda tentang masalah perempuan, sedikit banyak aku jadi ngerti betapa fragile-nya cewek-cewek itu, walaupun kelihatan tegar dari luar kalo kesentil sedikit pasti langsung mewek. Buatku perempuan itu untuk dilindungi bukan buat disakiti.
“Terus?” tanyaku, ketika pesanan kami datang dan menghentikan aktivitas ngebul untuk sesaat.
“Ya udah. End of story. Gak ada lagi kisah antara Seto Budi dengan Lani Hermawan,” Aku hanya bisa geleng-geleng kepala mendengar pejelasannya itu. “lo sendiri masih ngarepin first kiss lo itu?”
Pertanyaan Todi barusan membuatku tersedak, untung Todi cepat menyodorkan es teh-nya. Sambil mengelus dada, aku mengangguk “Gue cuma pengen ketemu dia lagi, itu aja. Soal nantinya gue sama dia itu jodoh atau engga mah, urusan yang di Atas.”
“Payah! Emang siapa sih namanya?”
“Kinu.”
“Kinu?” Todi mengernyitkan dahinya, meminta penjelasan dariku. “what a strange name.”
“That’s my nick-name for her. Kinu. Kebalikan dari unik, soalnya dia emang unik banget.” aku melahap lagi nasi pecel yang sempat aku kacangin.
Todi tampak berpikir sebentar. “Gue jadi penasaran, kaya’ apa sih orangnya?”
Aku menganggkat bahu. “Mana gue tau, gue gak pernah ketemu lagi sama dia sejak dia pindah ke Denmark. And it’s been..” aku mencoba menghitung. “eleven years ago, gue bahkan gak tau dia masih inget sama gue atau engga.”
“Ehm..gitu ya? Habis ini lo mau kemana? Temenin gue ke Gramed yuk, ada buku yang mau gue cari.”
“Ayuk, gue juga ada ya—” aku tiba-tiba teringat sesuatu. “Masyaallah, gue harus jemput nyokap! Gue duluan ya, Tod.”
“Hei terus yang bayar siapa?” Suara Todi terdengar samar, karena aku segera masuk ke mobil dan terus berdoa supaya Bunda gak ngamuk-ngamuk nanti.
*
Shit! Macet pula! Aku mengklakson mobil di depanku, lampu udah ijo tapi gak jalan-jalan. Aku mulai memasuki kawasan Bintaro Palm State, jelas bisa kulihat kenapa dinamai seperti itu oleh developernya. Pohon palemnya banyak banget! Dan ditata api seperti layanya jalan-jalan di San Fransisco.
Gak terlalu sulit menemukan rumah temen Bunda tadi, mengingat rumah-rumah di daerah itu cukup besar.
Aku memarkir mobil di depan rumah berpagar putih. No. 35. Pasti ini rumahnya. Aku menekan bel yang ada di dekat pagar, dan tak berapa lama kemudian seorang gadis muncul dari garasi. Nafasku tercekat.
“Ngapain kamu disini?”
*
Informasi lebih lanjut tentang novel ini bisa menghubungi : twinkle8star2000@yahoo.com

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home